Rabu, 14 Desember 2016

Keluarga yang Lain -2-


Aku rasa ayah sangat egois, bukan ayah yang paling egois memang. Aku banyak mendengar soal ayah – ayah lain yang lebih parah dari ayah tiriku. Tapi aku merasa ga tega sama ibu. Ayah kasih nafkah pas – pasan buat ibu. Itu pun “seperti dengan syarat” ibu harus membantunya di warung lebih dari setengah hari. Dan parahnya, setiap kali aku pulang siang aku selalu melihat ayah tidur di rumah, tidak di warung bersama ibu. Kenapa dia egois sekali. Ibu harus membantu dia, tapi dia enak – enakan di rumah.

Aku pernah bertanya kepada ibu, kenapa ibu tidak cerai saja dengan ayah? Hidup sendiri, jual makanan sendiri dan sambil ngajar, uangnya juga kan untuk ibu sendiri dan palingan untuk makan sehari – hari. Lagi pula kakak – kakaku suka mengirimkan uang bulanan untuk ibu. Kalian tahu ibu jawab apa? Kata ibu kasihan Dika kalau ibu sama ayah cerai. Nanti Dika diurus siapa.

Aku rasanya mau menangis. Bukan maksudku Dika harus merasakan apa yang dulu pernah aku rasakan. Tapi kenapa ibu bisa berpikiran seperti itu, sedangkan dulu ibu bercerai dengan bapak. Saat itu bahkan aku lebih kecl dari Dika. Umurku 7 tahun dan ade 5 tahun. Tapi ibu lebih memilih untuk menyerah dan ninggalin kami berempat. Padahal saat itu, kami Cuma punya ibu.

****

Ibuku banyak pengeluaran setiap bulan yang bermacam – macam. Ada uang bayar kontarak rumah, uang nyicil hutang di bank, uang jualan snack, dan ibu juga nabung harian di aku. Aku jadi punya banyak  celengan ibu. Celenganan khusus ibu saja. Karena aku ga mau nabung lagi di rumah. Aku udah punya rekening sendiri. Lagi pula di kampus ada banknya, jadi kalo mau nabung gampang.

Beberapa bulan uang tabungan itu aman, bahkan saat uang ade diambil Dika uang – uang ibu yang ada di aku tetap aman. Tapi setelah lebih dari setengah tahun, uang rumah hilang 20 ribu, aku bilang ke ibu. Muka ibu terlihat kecewa, jadi diem – diem uang itu aku ganti dengan uangku. Cuma 20 ribu ini.

Ga lama uang uang rumah ilang, uang jualan ibu hilang 50 ribu. 2 hari sebelumnya aku cek masih ada. Tapi saat ibu ingin mengambil uang itu, uangnya ga ada. Saat itu ibu mulai curiga sama aku. Ibu mengira aku meminjam uang itu tapi  aku lupa. Padahal aku bener – bener ingrt kalo uang itu masih ada 2 hari sebelumnya. Aku sedih banget. Dan aku ga mau lagi simpenin uag jualan ibu. Biarlah ibu aja yang simpen sendiri.

Saat uang jualan hilang beberapa hari kemudia aku langsung membuka semua celengan ibu. Aku catat saldo masing – masing uang dan aku buka rekening baru khusus uang – uang ibu. Uang ibu yang ada aku tabungin semua. Aku takut uang itu bakal hilang lagi. Tapi sejak kejadian itu ibu jadi jarang nabung sama aku. Sedih juga ya ibu ga terlalu percaya lagi sama aku. Tapi yasudahlah, ada hikmahnya, amanahku jadi berkurang.

****

Ternyata ibu bikin celengan yang baru lagi. Celengan kecil berwarna kuning. Ibu bilang ibu suka nabung di situ. Pantas saja ibu jarang nabung di aku lagi. Yasudahlah ga apa –apa.

Tapi masalahnya beberapa minggu setelah ibu buat celengan itu, ibu bilang ibu butuh dana dadakan. Dan celengan itu ibu buka. Ibu perkirakan uang di sana ada 300an, tapi ternyata uang di sana hanya ada 35 ribu!

Aku memang tidak tahu kejadian awalnya saat ibu buka celengan itu, di sana hanya ada ade. Dan yang lebih perihnya. Ibu bilang aku yang ambil uang itu. Kata ade ibu berfikir kalau celengan itu aku kira punyaku, karena ibu menyimpan celengan tersebut di lemariku. Jadi uangnya bisa aja aku yang ambil.

Ibu memang tahu semester ini aku banyak sekali pengeluaran, karena ada beberapa kuliah lapangan yag membutuhkan dana ekstra. Tapi ga sampai aku mengambil yang bukan hak aku kan? Aku saja ga tau ibu taro celengan tersebut di laciku yang mana.

Ade dilang di bibir celengan itu banyak bekas kaya habis dikorek – korek pake benda tajam. Dan saat pulang dan aku periksa, memang banyak bekas korekan kasar. Jika aku yang ambil uangnya pun aku ga sebodoh itu ninggalin jejak. Kalo ade yang ambil, ade pasti juga ga akan ninggalin jejak kaya gitu. Aku jadi inget saat Dika ambil uang celenganku. Dia bikin lubang atau bibir celengan itu sampai berlubang. Atau saat ambil uang ade dia malah melebarkan lubangnya.

Aku bilang ke ibu, coba tanya Dika, mungkin Dika yang ambil. Tapi kata ibu, “ga mungkin Dika yang ambil. Dia akan ambil uang sebanyak itu.”

Sakit

Itu yang aku rasa.

Sakit banget. Ternyata emang ibu lebih sayang sama anak bungsunya dia. Aku nau bilang rasanya sama ibu. Kalo emang ibu ga percaya sama aku, buat apa selama ini ibu nabunigin uangnya di aku? Aku rasa, aku ga mau dititipin uang lagi sama ibu. Aku pun mengembalikan semua uang ibu yang ada di aku, aku tidak ingin menerima uang apa - apa lagi dari ibu, dan ibu pun tidak lagi menitipkan uuangnya di aku.

****

Karena aku ga mau mau ngaku dan ibu kekeh bukan Dika yang ngambil. Tertuduh jadi berpindah ke ade. Ibu bilang, “ayang, kamu yang ambil uuang ibu ya? Kalo emang kamu yang ambil bilang aja. Ibu ga marah kok. Kamu jujur aja sama ibu.”

Adeku emang orang yang “agak hedon”. Dia sering benlanja on line. Tapi aku tahu dia ga mungkin ambil uang ibu buat belanja. Karena dia selelu pinjem uang aku kalau dia mau belanja tapi ga punya uang. Aku selalu meriksa apa yang dia beli dan berapa hargaya. Juga uang yang dia pinjem ke aku. Harganya selalu sesuai. Tapi ibu ga tahu, dan ibu menuduh adeku.

Adeku orangnya tempramen. Sejak hari itu dia ngambek beberrapa hari ke ibu. Sampai kira -  kira seminggu dia baru baik lagi ke ibu.


Tapi kasus itu sampai sekarang ga selesai. Aku sama ade  tetap pada pendirian kami, bahwa kami ga ambil uang itu. Dan ibu juga kekeh terhadap pendiriannya, bahwa bukan dia yang mengambil uangnya.


Keluarga yang Lain -2-
Day 14
#30DWC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar