Sabtu, 10 Desember 2016

Back to December


“Aku seneng kamu sempetin dateng buat ketemu aku,” kataku sambil tersenyum kepadanya. Aku merindukan dia.

“no problem. Aku kebetulan lagi ada urusan di kota ini pas kamu ajak ketemuan. Gimana kabar kamu?” dia masih pake aku-kamu buat manggil aku. Aku kaget, tapi, boleh ga aku berharap?

“Aku baik,” jawabku. Aku sebenernya sakit. Aku menyesal. Bisa ga kita balik lagi? “Keluarga kamu gimana kabarnya? Opa sehat?”

“semuanya sehat. Opa juga. Kadang-kadang dia suka nanyain kamu.” Jawab dia sambil menghirup teh panasnya. “kamu kapan-kapan main aja, ga apa-apa kok. Keluarga aku kan juga udah hafal sama kamu. Tengokin opa.”

“Pengen sih, tapi ga enak aja. Suka bingung aku mau ngepain di sana kalo udah selesai ketemu opa.”

“yaudah, pulang aja.” Kata dia sambil nyengir.

“yeeee, masa pulang gitu aja. Nanti ajalah kapan-kapan kalo kamu ngajakin aku, aku baru mau deh.” Kalo sekarang kamu ngajakin aku juga mau! “Kamu dingin-dingin begini masih suka minum teh panas yah.”

“kamu minumnya Latte terus.”

“yah kalo aku kan emang suka dari dulu. Kalo kamu kan sukanya gara-gara kita suka dingin-dinginan ke Bogor, terus aku bikinin teh. Aku kira kamu udah ga suka teh lagi.”

Dia tersenyum, sambil tetap memegang cangkir tehnya. “kebiasaan” jawab dia. Bolehkah aku bahagia? Dia kebiasaan minum teh karena aku! “kamu masih inget aja hal-hal sepele kaya gitu. Minum kopi jangan sering-sering. Kasihan ginjal kamu.”

“inget lah. Bagiku kan itu hal penting.” Aku keceplosan! Harusnya kan ga usah bilang! Dia kelihatannya kaget banget kaya gitu.. “kok kamu kaget?”

“ga apa-apa. Cuma ga nyangka aja. Kamu kan dulu orangnya cuek. Sampe-sampe aku juga jarang diperhatiin.” Jawab dia sambil tersenyum getir, aku merasa bersalah.

“Aku ga tau dulu. Aku Cuma rasanya pengen bebas aja. Karena kan kamu tau sendiri. Aku sebelumnya belum pernah pacaran.” Kataku sambil menunduk. Aku gemetar. Bukan karena kedinginan. Tapi karena rasanya aku mau nangis.

“dan sekarang kamu udah bebas kan? Aku suka lihat di instagram kamu sama temen-temen kamu suka jalan-jalan lagi. Aku seneng kamu seneng.” Kata dia sambil tersenyum ke arahku.

Aku menyesap kopiku, tidak menimpali jawabannya dia. Aku terdiam beberapa saat. Bayangan saat dulu dia sabar menunggu aku yang selalu pergi ke mana-mana melayang-layang. “tapi bebas ga enak yah. Aku baru tau bebas itu rasanya sepi.” Jawabku, itu yang aku rasakan sekarang.

“Bukannya itu yang kamu mau, bebas?” dia menatku serius, bersender ke kursinya dan menyilangkan tangan.

“Di sini dingin ya. Sama kaya waktu itu. Semenjak saat itu kita selalu suka tempat yang dingin-dingin.” Aku mengalihkan pembicaraan, aku ga kuat dengan topik pembicaraan tentang kebebasan itu. “kamu sekarang sibuk banget ya, sampe susah banget diajak ketemuan. Ini udah beberapa bulan ya dari kita janjian ketemu.”

“iya, namanya juga dokter baru. Aku ga enak kalo ninggalin di sana gitu aja. Ini aja karena aku ada urusan di rumah sakit daerah sini. Jadi kita bisa ketemu.”

“hmm, pantesan kamu bajunya rapih banget. Ternyata abis dari rs.” Kataku sambil manggut-manggut.

“iya. Males aku ganti baju lagi.” Dia mencium-cium bajunya. “tapi ga bau kan?”

Aku tertawa, ternyata gara-gara itu dia mencium bajunya? “bau!” kataku sambil menutup hidung. “bau rumah sakit tapii.”

“kirain aku beneran bau.” Dia mencubit hidungku dengan jarinya, “nih rasain anak bandel”

Aku masih tertawa lepas, “awwww, sakiit.” Cubitannya keras banget, “udah dong nanti aku mancung lagi” kataku sambil berusaha melepaskan tangannya.

“biarin, biar makin cakep.” Kata dia, walau pun akhirnya dia tetap melepaskan hidungku.

“Aku udah cakep tuh.”

“kata siapa?”

“Dulu pernah ada yang bilang aku tetap paling cakep walau pun mancungnya ke dalem.” Aku ingat. Dulu dia selalu memuji aku cantik setiap saat. Apalagi ketik aku mulai tidak percaya diri.

Dia hanya membalas perkataan ku dengan senyumannya. Kami terdiam.

“Oiya, bunga yang waktu itu kamu kasih, masih inget kan? Mereka udah ga layu. Aku stek mereka di halaman depan dan mereka tumbuh. Sekarang juga lagi berbunga. Kapan-kapan kamu harus lihat.” Aku mencari topik baru. Sulit untuk mencari topik dengannya selain kenangan masa lalu.

“bagus dong. Aku kira kamu ga peduli sama bunga-bunga itu.” Awalnya aku emang ga peduli, tapi ga lama setelah kejadian itu kita pisah, aku ga bisa buat ga peduli.

“ga mungkin aku ga peduli.” Jawabku sambil menerawang. Aku mau menghindari tatapan dia.

“aku baru sadar, kok kamu sekarang kurusan ya?” iya, aku kepikiran kamu terus. Gimana aku bisa makan dengan tenang kalo aku selalu dihantui rasa bersalah?

“masa sih? Perasaan kamu doang kali.” Yaah, berat badan aku emang turun tujuh kilo gara-gara aku hilang nafsu makan.

“Iya, serius deh. Karena aku, kamu jadi ga nafsu makan ya?” tanya dia dengan muka khawatir, aku Cuma tersenyum kepadanya, lalu memalingkan muka lagi. Aku ga kuat menatap mukanya terlalu lama. Pertahananku bisa hancur.

“Kok kamu tahu?” jawabku asal.

“kamu jangan begitu. Jaga kesehatan kamu, ini tubuh kamu. Gimana kamu bisa travelling kalo kamu nanti sakit.” Kenapa kamu masih perhatian sama aku? Aku ga kuat kalo kamu terlalu baik.

“Maafin aku pernah jahat sama kamu. Maafin aku dulu aku ga pernah bersyukur ada kamu. Maafin aku aku terlalu egois. Maafin aku dulu pernah minta kita buat pisah.” Aku menunduk, menangis. Ternyata aku memang ga kuat. Setelah tiga bulan, bulan september, aku dan dia pisah. Aku kesepian. Dan aku sangat menyesal.

“aku jadi inget, bulan september sebelum kita jadian. Kamu tiba-tiba dateng ke aku, terus cerita kalo kucing kamu kecelakaan. Dan kamu nangis sampe sesenggukan.” Kata dia sambil mengelus punggungku. Aku tetap ga kuat menatapnya.

“dan September 3 tahun kemudian, aku nangis lagi. Tapi bukannya samperin kamu, aku nangis karena ternyata aku ga bisa tanpa kamu. Kamu udah pergi, dan aku ga berani untuk ganggu kamu.” Aku diam, mencoba mengolah kata dengan baik, apa saya yang ingin aku sampaikan kepadanya.”ga lama aku hubungin kamu, tapi ternyata kamu sibuk. Aku pikir segitu gamaunya kamu ketemu aku. Aku emang jahat banget ya. Ada yang setia nungguin aku, tapi aku malah sia-siain. Aku inget dulu setiap kali aku pergi, kamu selalu nungguin aku, atau kamu selalu jagain kamu, tapi aku malah merasa kamu pengganggu. Aku inget bulan Agustus kemarin pas aku ulang tahun. Kamu kasih aku buket mawar yang besaaar banget, padahal pas awal agustus, kamu ulang tahun, aku ga ucapin apa-apa karena aku ngambek sama kamu. Tapi kamu tetap kasih aku hadiah. Ga pernah ada yang kasih aku kaya gitu sebelumnya. Tapi karena aku lagi jenuh sama kamu, mawar itu aku taro gitu aja, sampai layu. Pas kamu lihat mawar itu layu, dan kamu mulai marah sama aku. Aku baru sadar aku bener-bener keterlaluan.” Aku ga kuat, aku nangis sesenggukan sambil coba atur nafas aku dan lanjutin cerita. Dia masih setia dengerin cerita aku. “habis itu kamu pergi. Aku ngerti, pasti kamu ga tahan sama aku. Aku mau tahan kamu. Tapi aku ngerasa kalo aku berhak. Yang bisa aku lakuuin Cuma menghukun diri aku sendiri.”

“kamu ngepain?” tanya dia khawatir

“aku ga ngepa-ngepain. Cuma kehilangan nafsu makan dan rasa ngantuk aku. Aku jarang banget makan dan sedikit tidur.”

“kamu ga boleh gitu. Kamu harus jaga diri kamu sendiri.” Aku Cuma mengagguk.

“aku kangen kamu, kangen senyum manis kamu, bikin aku tenang, hal yang paling aku sukain. Aku kangen gimana kamu selalu menghibur aku kalau sedih.” Dan aku sekarang pengen kamu hibur aku, aku mau kamu peluk aku dan tenangin aku. “mungkin ini Cuma keinginan aku, atau Cuma mimpi aku. Tapi jika kita bisa mulai lagi, aku janji aku akan mencintai kamu dengan benar. Ini bulan Desember, dan bisa kah kita bulan ini seperti Desember 3 tahun lalu, saat kita jadian. Di saat kita mulai semuanya? Bisa ga kita?”

Aku mencoba untuk tegar, menghapus air mataku dan mengatur nafasku, agar suara sesenggukanku tidak terlalu jelas. Aku menatap matanya dia dengan muka memelas. Aku masih  menginginkannya.

“Kamu memang hal terbaik yang pernah aku punya. Aku memang sayang banget sama kamu. Tapi maaf, aku belum bisa untuk kita kembali.”

Aku tersenyum. Aku sudah menduga, pasti itu jawaban yang dia berikan. “Iya aku udah menduga jawaban kamu. Aku minta maaf untuk semuanya. Aku Cuma berharap, aku bisa kembali ke Desember. Di mana semuanya dimulai. Dan aku berharap Desember itu akan kembali lagi padaku. Walau pun itu hanya keinganan ku. Aku minta maaf atas keegoisanku. Semoga Desember yang selalu ku impikan bisa tiba.

Dia tersenyum, “Impikan saja, siapa tau  Desember itu bisa kau miliki.”

-Back to December- selesai
Day 8

#30DWC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar