Aku
dana ade, adik kandungku saat ini
hidup dengan Ibu dan ayah tiriku beserta satu anak mereka yang berusia tujuh
tahun di bawah adik kandungku. Ibu dan bapak sudah bercerai, lamaa sekali saat
umurku masih tujuh tahun, saat itu aku ingat, masa - masanya pendaftaran SD.
Tapi sejak itu aku dan ade tidak ikut dengan bapak atau pun ibu. Karena masing
– masing mereka menikah kembali. Aku dan ade beserta dua kakakku yang umurnya
terpaut dua belas tahun di atasku memutuskan tinggal sendiri, tanpa orang tua.
Tapi
sekarang aku dan ade harus rela ditinggal oleh kakak-kakakku, karena mereka
sudah menikah dan tinggal jauh dari sekolah ade dan kampusku dengan suaminya.
Kami harus rela tinggal dengan ibu karena jarak rumahnya lebih dekat dengan
sekolah dan kampus.
Aku
pikir menyenangkan, tinggal lagi dengan ibu. Sepuluh tahun lebih aku tidak
hidup dengan ibu, aku membayangkan bisa makan masakan ibu, membantu ibu masak,
sesekali tidur dengan ibu. Tapi ternyata itu Cuma anganku belaka. Kenyataan
memang tidak seindah imajinasi kita.
Kenyataan
yang aku dapatkan, ibu setiap hari membantu ayah untuk membantunya berjualan di
warung makannya. Setiap hari ibu membantunya memasak dan melayani pembeli dari
jam tiga pagi sampai jam 7 malam. Setelah itu ibu pergi mengajar les sampai jam
9 malam. Setelah ibu pulang pun ibu masih harus melayani ayah, seperti
menyiapkan atau membelikan makan malam untuknya, menyiapkan baju, dan lain –
lain sampai ibu baru tidur jam 12.
Ayah
ternyata juga jarang memberikan nafkah, hanya memberikan uang kontrak rumah per
bulan, itu pun dia bilang sebagai gaji ibu. Jadi kalau ibu tidak membantunya,
ibu tidakdiberikan uang?
Pantas
saja aku fikir kenapa ibu harus mengajar lagi sepulang dari warung, ternyata
uang yang ibu punya tidak mencukupi. Bahkan uang yang diberikan ayah sama
sekali tidak dapat digunakan untuk keperluan harian. Aku sebenernya sangat
kesal, padahal uang yang didapat ayah dari hasil jualan banyak sekali. Tetapi
kenapa uang yang diberikan ke ibu bahkan tidak cukup untuk keperluan sehari –
hari ? begitukah kepala keluarga ?
Aku
juga tidak menyukai adik tiriku. Anak yang sangat manja. Mungkin karena kurang
perhatian dari kedua orangnya, jadi ayah selalu memberikan dia mainan – mainan
terbaru dan uang jajan yang banyak. Tapi itu membuatnya jadi sangat manja, jika
keinginannya tidak dipenuhi, dia akan marah – marah dan berteriak, membuat aku
sakit kepala mendengarnya. Bahkan jika dia meminta uang dan tidak diberi, dia
akan marah meraung – raung, padahal ibu tidak selalu punya uang!
Aku
kasihan dengan ibu, ternyata ibu tidak sebahagia yang aku bayangkan. Karena itu
aku dan ade mencoba membantu ibu, kami bersihkan rumah, mencuci baju dan
menyeterikanya. Aku dan ade juga tidak pernah meminta uang jajan kepada ibu,
atau meminta makanan yang aneh – aneh. Karena ibu tidak ada di rumah, jadi ibu
jarag masak yang ribet – ribet. Biasanya ibu masak telur, sosis, bayam, tempe
orak, mi, ikan atau ayam goreng. Pokoknya yang praktis lah. Kalau aku bawa
bekal ke sekolah pun teman – temanku dapat menebak apa yang aku bawa, pasti
kalau ga telur, ya sosis. Hihi. Tak apa – apalah. Aku masih bersyukur bisa
makan enak.
****
Ternyata
hidup itu tidak selamanya sesuai rencana. Aku kira aku dan adik bisa tinggal di
sini denganenak, walau pun dengan kesabaran yang ekstra dan kuping yang harus
bebal terhadap teriakan – teriakan adik tiriku. Tapi tinggal di sini ternyata
membuat kami jadi minoritas, membuat kami jadi yang tertuduh.
****
Aku
punya celenangan, aku senang sekali menabung, bahkan sebelum aku pindah ke
sini, karena aku sadar, bahwa aku bukan dari orang yang berada, jika aku punya
menginginkan sesuatu, aku harus menggunakan uangku sendiri, aku tidak pernah
mau meminta dari kakakku. Karena kakakku juga sudah lelah bekerja untuk
memberikan aku uang jajan dan memenuhi kebutuhan adik – adiknya.
Aku
punya celengan tanah liat berbentuk doraemon. Baru aku beli beberapa minggu
sebelum aku pindah ke rumah ibu. Aku kasihan sama abangnya, jadi aku beli,
ternyata harganya cukup mahal. Jadi celengan itu aku sayang, dan akanaku
jadikan tabungan jangka panjang. Pantang dibuka sebelum penuh!
Celengan
itu aku letakan di atas lemariku yang tingginya 130 cm. Aku taruh jauh di pojok
agar tidak ada yang melihat dan sulit untuk diambil. Terutama oleh adik tiriku
yang saat ini tingginya sekitar 120 cm. Entah kenapa karena sifatnya yang
seperti itu membuat aku waspada. Aku jug tidak pernah meletakkan uang
sembarangan. Selalu di dompet dan uang itu selalu aku hitung ada berapa.
Aku
kira aman meletakkannya di situ, tapi ternyata tidak. Aku melihat ada lubang
menganga pada bagian lubang untuk memasukkan uangnya. Aku kesel, aku marah. Aku
tahu ini bukan ulah adikku. Karena selama 18 tahun aku hidup dengan adikku, aku
tidak pernah kehilangan uang. Kalau dia butuh uang pun dia bilang ke aku dan
meminjam uangku. Aku yakin ini pasti ulah Dika, adik tiriku.
Aku
mengadu ke ibuku bahwa celenganku rusak dan uangnya ada yang hilang. Aku tidak
tahu persis berapa uang yang hilang. Aku meminta ibuku untuk menanyakannya ke
Dika, tapi dia ga mau ngaku. Mana ada sih
maling yang mau ngaku?
Akhirnya
karena Dika ga mau ngaku, ibu bilang ke ayah. Ayah mukulin Dika beberapa kali
sampai dia nangis – nangis. Aku ga inget pukulan yang ke berapa akhirnya dia
ngaku dia udah ambil uang dari celengan aku. Dia bilangg dia Cuma ambil 12
ribu. Tapi celengan itu udah rusak. Dan harga celengan itu 35 ribu. Butuh waktu
beberapa hari dari uang simpenan aku untuk membelinya. Sejak itu, aku ga nabung
di celengan lagi untuk beberapa waktu.
****
Ade
ternyata juga menyalami hal yang sama. Berbulan – bulan kemudian setelah
kejadianku. Ade menabung dicelengan lagi. Celengan palstik yang kecil. Dia
rajin menabung. Terutama menabung uang receh, sampau celengannya sepertiga
penuh.
Rencanannya
uang itu untuk membuka rekening saat dia 17 tahun, beberapa bulan lagi. Tapi ternyata
dia ada keperluan mendadak, dan dia sayat sedikit celengannya untuk mengambil
uang. Dia ambil uang ribuan yang ada di sana. Dan dia tidak tambal lagi
celengan itu. Dia bilang “kan lubangnya kecil”.
Hari
ini aku lagi ada kelas siang, jadi pagi – pagi aku masih di rumah. Dika juga
masuk siang, sedangkan ade, ayah dan ibu sudah pada pergi. Aku sedang di kamar
mandi. Tapi aku mendengar suara uang receh. Uang receh dari celengan yang
berusaha untuk diambil. Aku mulai negative thinking. “Jangan – jangan Dika
ambil uang dari celengan ade”. Tapi aku usir pikiran itu, ga boleh nethink
mulu. Mungkin emang Dika lagi ambil uang di celengannya. Karena dia juga punya
celengan sendiri.
Tapi
malam harinya setelah aku selesai kuliah dan ade pulang sekolah dia bilang, “Kak,
celengan aku masa jadi lebih enteng terus lubangnya jadi makin gede. Kan aku
lubanginnya Cuma segini, masa jadi segini. Tadi pagi sebelum jalan aku periksa
belum segini kok.” Kata dai sambil menunjukkan ukuran lubang di celengannya.
Akhirnya aku ceritakan yang tadi pagi aku dengar ke adeku. Setelah ibu pulang
ade cerita ke ibu perihal celengannya. Karena ayah sudah pulang saat ibu di
rumah. Ibu janji akan menanyakan ke Dika besok.
Besoknya
aku ada kelas siang lagi. Aku ga sabar nungguin ibu yang nanya ke Dika.
Akhirnya aku yang tanya ke dia.
“Dika
kamu ambil uang teteh dini ya?”
“enggak,
buat apa Dika ambil”
“Jangan
bohong kamu, ngaku aja kalo ngambil.”
“Sumpah
Demi Allah, buat apa Dika ambil. Dika juga dikasih uang jajan terus.”
“kemarin
teteh di kamar mandi denger kamu lagi ngorek celengan, kedengeran suara uang
recehnya. Terus teteh dini bilang kalo celengannya makin enteng. Lubangnya juga
makin gede. Ngaku aja kalo kamu yang ambil.”
“......”
“Ngaku
deh kalo ngambil. Atau teteh bilangin ayah biar kamu dipukulin lagi kaya pas
kamu ambil uang teteh.”
“iya
Dika yang ambil!” kata dia sambil bentak aku.
“Kamu
udah bohong masih berani pake sumpah. Dosa kamu Ka!”
“........”
“berapa
banyak uang yang kamu ambil?”
“Cuma
5 ribu.”
“bener
Cuma 5 ribu? Kalo teteh cek uangnya terus hilangnya lebih dari segitu teteh
bialngin ayahnya”
“10
ribu”
“tuh
kan nambah. Bilang yang bener coba hilangnya berapa. Sebelum teteh hitung.”
“udah
Cuma segitu”
“jujur
ama teteh. Kamu ga teteh pukulin ya.” Kataku sambil nahan emosi. Capek juga
ngomong sama orang kaya gini.
“iya
Dika ngambil 20ribu. UDAH PUAS BELUM TETEH?”
“nambah
lagi. Bener Cuma segitu?”
“IYE”
kata dia sampe kelihatannnahan nangis. Di situ aku tau itu batasnya dia.
Berarti dia ngambil uang ade 20 ribu.
Pas
ibu pulang akhirnya aku bilang ibu. Tapi ibu ga ngehukum dia apa – apa. Cuma
uang jajan dia dipotong 5 ribu selama empat hari buat gantiin uang ade. Uangku
dulu aja ga digantiin, huft. Aku ga yakin dia kapok kalo hukumannya cuma begitu.
Keluarga yang Lain -1-
Day
13
#30DWC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar