Rabu, 14 Desember 2016

Keluarga yang Lain -1-

Aku dana ade, adik kandungku saat ini hidup dengan Ibu dan ayah tiriku beserta satu anak mereka yang berusia tujuh tahun di bawah adik kandungku. Ibu dan bapak sudah bercerai, lamaa sekali saat umurku masih tujuh tahun, saat itu aku ingat, masa - masanya pendaftaran SD. Tapi sejak itu aku dan ade tidak ikut dengan bapak atau pun ibu. Karena masing – masing mereka menikah kembali. Aku dan ade beserta dua kakakku yang umurnya terpaut dua belas tahun di atasku memutuskan tinggal sendiri, tanpa orang tua.

Tapi sekarang aku dan ade harus rela ditinggal oleh kakak-kakakku, karena mereka sudah menikah dan tinggal jauh dari sekolah ade dan kampusku dengan suaminya. Kami harus rela tinggal dengan ibu karena jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah dan kampus.

Aku pikir menyenangkan, tinggal lagi dengan ibu. Sepuluh tahun lebih aku tidak hidup dengan ibu, aku membayangkan bisa makan masakan ibu, membantu ibu masak, sesekali tidur dengan ibu. Tapi ternyata itu Cuma anganku belaka. Kenyataan memang tidak seindah imajinasi kita.

Kenyataan yang aku dapatkan, ibu setiap hari membantu ayah untuk membantunya berjualan di warung makannya. Setiap hari ibu membantunya memasak dan melayani pembeli dari jam tiga pagi sampai jam 7 malam. Setelah itu ibu pergi mengajar les sampai jam 9 malam. Setelah ibu pulang pun ibu masih harus melayani ayah, seperti menyiapkan atau membelikan makan malam untuknya, menyiapkan baju, dan lain – lain sampai ibu baru tidur jam 12.

Ayah ternyata juga jarang memberikan nafkah, hanya memberikan uang kontrak rumah per bulan, itu pun dia bilang sebagai gaji ibu. Jadi kalau ibu tidak membantunya, ibu tidakdiberikan uang?

Pantas saja aku fikir kenapa ibu harus mengajar lagi sepulang dari warung, ternyata uang yang ibu punya tidak mencukupi. Bahkan uang yang diberikan ayah sama sekali tidak dapat digunakan untuk keperluan harian. Aku sebenernya sangat kesal, padahal uang yang didapat ayah dari hasil jualan banyak sekali. Tetapi kenapa uang yang diberikan ke ibu bahkan tidak cukup untuk keperluan sehari – hari ? begitukah kepala keluarga ?

Aku juga tidak menyukai adik tiriku. Anak yang sangat manja. Mungkin karena kurang perhatian dari kedua orangnya, jadi ayah selalu memberikan dia mainan – mainan terbaru dan uang jajan yang banyak. Tapi itu membuatnya jadi sangat manja, jika keinginannya tidak dipenuhi, dia akan marah – marah dan berteriak, membuat aku sakit kepala mendengarnya. Bahkan jika dia meminta uang dan tidak diberi, dia akan marah meraung – raung, padahal ibu tidak selalu punya uang!

Aku kasihan dengan ibu, ternyata ibu tidak sebahagia yang aku bayangkan. Karena itu aku dan ade mencoba membantu ibu, kami bersihkan rumah, mencuci baju dan menyeterikanya. Aku dan ade juga tidak pernah meminta uang jajan kepada ibu, atau meminta makanan yang aneh – aneh. Karena ibu tidak ada di rumah, jadi ibu jarag masak yang ribet – ribet. Biasanya ibu masak telur, sosis, bayam, tempe orak, mi, ikan atau ayam goreng. Pokoknya yang praktis lah. Kalau aku bawa bekal ke sekolah pun teman – temanku dapat menebak apa yang aku bawa, pasti kalau ga telur, ya sosis. Hihi. Tak apa – apalah. Aku masih bersyukur bisa makan enak.

****

Ternyata hidup itu tidak selamanya sesuai rencana. Aku kira aku dan adik bisa tinggal di sini denganenak, walau pun dengan kesabaran yang ekstra dan kuping yang harus bebal terhadap teriakan – teriakan adik tiriku. Tapi tinggal di sini ternyata membuat kami jadi minoritas, membuat kami jadi yang tertuduh.

****

Aku punya celenangan, aku senang sekali menabung, bahkan sebelum aku pindah ke sini, karena aku sadar, bahwa aku bukan dari orang yang berada, jika aku punya menginginkan sesuatu, aku harus menggunakan uangku sendiri, aku tidak pernah mau meminta dari kakakku. Karena kakakku juga sudah lelah bekerja untuk memberikan aku uang jajan dan memenuhi kebutuhan adik – adiknya.
Aku punya celengan tanah liat berbentuk doraemon. Baru aku beli beberapa minggu sebelum aku pindah ke rumah ibu. Aku kasihan sama abangnya, jadi aku beli, ternyata harganya cukup mahal. Jadi celengan itu aku sayang, dan akanaku jadikan tabungan jangka panjang. Pantang dibuka sebelum penuh!

Celengan itu aku letakan di atas lemariku yang tingginya 130 cm. Aku taruh jauh di pojok agar tidak ada yang melihat dan sulit untuk diambil. Terutama oleh adik tiriku yang saat ini tingginya sekitar 120 cm. Entah kenapa karena sifatnya yang seperti itu membuat aku waspada. Aku jug tidak pernah meletakkan uang sembarangan. Selalu di dompet dan uang itu selalu aku hitung ada berapa.

Aku kira aman meletakkannya di situ, tapi ternyata tidak. Aku melihat ada lubang menganga pada bagian lubang untuk memasukkan uangnya. Aku kesel, aku marah. Aku tahu ini bukan ulah adikku. Karena selama 18 tahun aku hidup dengan adikku, aku tidak pernah kehilangan uang. Kalau dia butuh uang pun dia bilang ke aku dan meminjam uangku. Aku yakin ini pasti ulah Dika, adik tiriku.

Aku mengadu ke ibuku bahwa celenganku rusak dan uangnya ada yang hilang. Aku tidak tahu persis berapa uang yang hilang. Aku meminta ibuku untuk menanyakannya ke Dika, tapi dia ga mau ngaku. Mana ada sih maling yang mau ngaku?

Akhirnya karena Dika ga mau ngaku, ibu bilang ke ayah. Ayah mukulin Dika beberapa kali sampai dia nangis – nangis. Aku ga inget pukulan yang ke berapa akhirnya dia ngaku dia udah ambil uang dari celengan aku. Dia bilangg dia Cuma ambil 12 ribu. Tapi celengan itu udah rusak. Dan harga celengan itu 35 ribu. Butuh waktu beberapa hari dari uang simpenan aku untuk membelinya. Sejak itu, aku ga nabung di celengan lagi untuk beberapa waktu.

****

Ade ternyata juga menyalami hal yang sama. Berbulan – bulan kemudian setelah kejadianku. Ade menabung dicelengan lagi. Celengan palstik yang kecil. Dia rajin menabung. Terutama menabung uang receh, sampau celengannya sepertiga penuh.

Rencanannya uang itu untuk membuka rekening saat dia 17 tahun, beberapa bulan lagi. Tapi ternyata dia ada keperluan mendadak, dan dia sayat sedikit celengannya untuk mengambil uang. Dia ambil uang ribuan yang ada di sana. Dan dia tidak tambal lagi celengan itu. Dia bilang “kan lubangnya kecil”.

Hari ini aku lagi ada kelas siang, jadi pagi – pagi aku masih di rumah. Dika juga masuk siang, sedangkan ade, ayah dan ibu sudah pada pergi. Aku sedang di kamar mandi. Tapi aku mendengar suara uang receh. Uang receh dari celengan yang berusaha untuk diambil. Aku mulai negative thinking. “Jangan – jangan Dika ambil uang dari celengan ade”. Tapi aku usir pikiran itu, ga boleh nethink mulu. Mungkin emang Dika lagi ambil uang di celengannya. Karena dia juga punya celengan sendiri.

Tapi malam harinya setelah aku selesai kuliah dan ade pulang sekolah dia bilang, “Kak, celengan aku masa jadi lebih enteng terus lubangnya jadi makin gede. Kan aku lubanginnya Cuma segini, masa jadi segini. Tadi pagi sebelum jalan aku periksa belum segini kok.” Kata dai sambil menunjukkan ukuran lubang di celengannya. Akhirnya aku ceritakan yang tadi pagi aku dengar ke adeku. Setelah ibu pulang ade cerita ke ibu perihal celengannya. Karena ayah sudah pulang saat ibu di rumah. Ibu janji akan menanyakan ke Dika besok.

Besoknya aku ada kelas siang lagi. Aku ga sabar nungguin ibu yang nanya ke Dika. Akhirnya aku yang tanya ke dia.

“Dika kamu ambil uang teteh dini ya?”

“enggak, buat apa Dika ambil”

“Jangan bohong kamu, ngaku aja kalo ngambil.”

“Sumpah Demi Allah, buat apa Dika ambil. Dika juga dikasih uang jajan terus.”

“kemarin teteh di kamar mandi denger kamu lagi ngorek celengan, kedengeran suara uang recehnya. Terus teteh dini bilang kalo celengannya makin enteng. Lubangnya juga makin gede. Ngaku aja kalo kamu yang ambil.”

“......”

“Ngaku deh kalo ngambil. Atau teteh bilangin ayah biar kamu dipukulin lagi kaya pas kamu ambil uang teteh.”

“iya Dika yang ambil!” kata dia sambil bentak aku.

“Kamu udah bohong masih berani pake sumpah. Dosa kamu Ka!”

“........”

“berapa banyak uang yang kamu ambil?”

“Cuma 5 ribu.”

“bener Cuma 5 ribu? Kalo teteh cek uangnya terus hilangnya lebih dari segitu teteh bialngin ayahnya”

“10 ribu”

“tuh kan nambah. Bilang yang bener coba hilangnya berapa. Sebelum teteh hitung.”

“udah Cuma segitu”

“jujur ama teteh. Kamu ga teteh pukulin ya.” Kataku sambil nahan emosi. Capek juga ngomong sama orang kaya  gini.

“iya Dika ngambil 20ribu. UDAH PUAS BELUM TETEH?”

“nambah lagi. Bener Cuma segitu?”

“IYE” kata dia sampe kelihatannnahan nangis. Di situ aku tau itu batasnya dia. Berarti dia ngambil uang ade 20 ribu.

Pas ibu pulang akhirnya aku bilang ibu. Tapi ibu ga ngehukum dia apa – apa. Cuma uang jajan dia dipotong 5 ribu selama empat hari buat gantiin uang ade. Uangku dulu aja ga digantiin, huft. Aku ga yakin dia kapok kalo hukumannya cuma begitu.

Keluarga yang Lain -1-
Day 13

#30DWC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar