Jumat, 16 Desember 2016

Kakak


Kakakku seorang perempuan. Usianya terpaut 12 tahun denganku. Bagiku dia adalah mutiara dalam hidup, aku menyayanginya lebih dari aku menyayangi ibuku.

Bagaimana bisa?

Dia adalah pahlawanku. Yang membuat aku bisa merasakan nikmatnya pendidikan sampai saat ini aku merasakan bangku kuliah. Yang sangat nyaman. Yang mungkin dulu tidak dia dapatkan.

Orangtuaku bercerai saat aku masih kecil. Berumur tujuh tahun, dan aku memiliki adik yang umurnya dua tahun di bawahku. Bapak pergi bersama mama tiri dan ibu juga menikah lagi. Omaku tidak mengizinkan aku dan saudara – saudaraku ikut siapa pun. Akhirnya kami tinggal di rumah oma. Bersama tante-om dan anak – anaknya yng umurnya berdekatan denganku.

Saat itu kakakku sudah kuliah sammbil bekerja. Dia berangkat pagi – pagi sekali dan pulang larut. Pagi – siang mengajar, dan malamnya kuliah. Aku sebenarnya takut ditinggal kakakku, karena di rumah yang aku rasakan “sangat jahat”. Kakakku adalah pelindungku, di saat dia ga ada, aku merasa ga aman. Tapi aku ga boleh cengen karena dia pergi. Aku harus kuat dan menjaga adikku, seperti yang dia lakukan. Menjaga adik – adiknya.

Di rumah itu, aku merasa ketidakadilan. Aku dan adikku selalu di salahkan, padahal terkadang bukan kami yang melakukannya. Itu ulah sepupu – sepupuku. Tapi aku ga tahu apa yang kami lakukan sehingga apa pun yang kami lakukan pasti selalu saja salah di mata tante. Rumah ga boleh berantakan, kalo berantakan aku dibilang malas. Lantai harus bersih, kalo ga bersih aku dibilang jorok. Aku harus selalu ada di luar kamar, kalo di kamar terus dibilangnya ngamar, padahal aku Cuma mau mencari ketenangan. Kalau aku cerita ke kakakku pasti dia bilang, “ga apa –apa, rapihin aja. Kalo rapih kan enak dilihat, kamu juga jadi dibilang rajin.” Atau “yaudah ngerjain prnya di luar gih. Biar mereka tahu kalau kamu lagi belajar.”

Kakakku seorang pekerja keras. Berangkat pagi – pagi dan pulangnya larut. Saat ada matahari dia bekerja, saat ada bulan dia kuliah. Uang yang dia dapatkan untuk membiayain kuliahnya, juga untuk membayar sekolahku dan ade. Bapak dan ibu jarang sekali memberikan uang. Jadi kata kakakku, kita harus mandiri, harus bisa sendiri walau pun tanpa orang tua.

Aku hidup terkurung selama aku duduk di sekolah dasar. Tapi kakakku selalu memberikan aku cahaya. Dia bagaikan lilin di gelapnya malam. Dia tidak pernah memaki siapa pun yang “meremehkannya” termasuk oma dan semua tante – tanteku.

Semenjak bapakku selingkuh, dan ibuku menuntut cerai. Aku dan saudara – saudaraku bagikan arang yang ga ada apa – apanya. Aku merasa tidak dianggap dan tidak dihargai oleh saudara-saudara bapakku. Kalau ada kumpul – kumpul kelarga aku dan adikku harus membantu, entah itu mencuci piring, menyapu, mengepel. Padahal ada saudara sepupu yang lain yang juga seumuran. Aku sedih sebenernya dengan perlakuan mereka tapi lagi – lagi kata kakakku, “ini latihan biar kamu terbiasa. Kalau punya rumah sendiri nantikan kamu jadi bisa merawatnya.”

Kakakku selalu mencurah kan waktu, tenaga, dan uangnya untuk aku dan adikku. Tapi lebih khusus ke aku. Karena aku seorang kakak. Aku harus menjaga dan mengajari adikku sebagaimana yang kakakku  lakukan. Adikku suka menangis karena diganggu kakak – kakak sepupunya. Aku tidak bisa melawan mereka untuk adikku, karena kalau itu aku lakukan, aku pasti akan dimarahi sama oma sama tante. Karenanya aku hanya bisa memeluknya dan bilang, “sabar ya De, nanti dibalas sama Allah.” Aku juga harus menjadi kuat untuk adikku.

Kakakku orang yang sangat berhati luas. Dia tidak pernah memarahi aku atau pun adik kalau dia dimarahi oleh oma atau tante karena kami nakal. Kalau kami melakukan kesalahan, atau bandel sedikiiiiit aja, pasti oma atau tante akan bilang bahwa kakakku tidak becus mendidik kami. Kalau dipikir, wajar saja kalau kakakku tidak becus mendidik anak, dia hanya seseorang yang beranjak dewasa tapi sudah dilimpahkan tanggung jawab dua adik yang masih sangat kecil. Padahal itu seharusnya bukan tanggung jawab dia, aku dan ade pun bukan keinginan dia. Tapi dia hanya diam, ga pernah memarahi kami.

Ketika sudah mulai besar,, aku sadar ternyata uang sekolahku dan adikku dibayari oleh kakakku. Padahal dia kerja capek, tapi uangnya tetap untuk kami. Aku jarang melihat dia pergi jalan – jalan dengan temannya. Dia bilang jalan – jalan Cuma buang – buang uang, lebih baik uangnya ditabung. Dia masih begitu muda, umur 20 awal. Tapi sudah bisa membiayai adiknya. Aku bangga dengan kakakku.

Kakakku pernah bilang, dia bersyukur ada aku dan adikku di sini. Karena kalau tidak ada kami, dia bilang dia bisa menjadi cewek yang ga bener karena stress dengan kelakuan orang tua kami. Selalu terbesit dibenaknya dia untuk kabur menjalani hidupnya sendiri, lagi pula dia suda bekerja. Atau dia pernah berfikir untuk main – main entah kemana dan pulang larut untuk menghindari oma. Tapi dia bilang, jika pikiran seperti itu muncul dibenaknya, dia ingat kami. Yang menunggu dia untuk pulang. Sehingga sampai saat ini dia masih menjadi seorang wanita yang baik – baik.

Saat aku lulus sekolah dasar, oma meninggal. Menyebabkan aku dan saudara – saudaraku haarus pergi dari rumah tersebut. Aku akhirnya bahagia, bisa terbebas dari tante, yang mulutnya sangat – sangat tajam.  Kakakku bilang padaku “Pi, 24 tahun kakak selalu berdoa sama Allah supaya bisa keluar dari rumah ini. Dan akhirnya sekarang kakak bisa keluar juga. Kakak mau kasih tau kamu, jangan pernah berhenti berdoa sama Allah jika kamu menginginkan sesuatu. Kalau menurut Allah itu baik untukmu. Pasti Allah akan kabulkan, entah cepat atau lambat.”

Kakakku selalu berpikiran positive. Aku tak mengerti apa dia memang berpikiran positive atau dia ingin mengajarkan aku bahwa jangan melihat hidup dari sisi negativenya. Tapi dari pelajaran yang dia berikan. Hal itu membuat aku menjadi diriku yang sekarang. Yang selalu berusaha untuk berlaku dan berpikir positive.

Kakakku sekarang sudah menikah di umurnya yang ke 28 tahun. Saat dia akan menikah. Aku selalu birpikir, hidup tanpa dia pasti akan sangat sepi. Aku ga mau pisah dari dia. Aku menangis. Tidak di depannya. Aku tidak mau dia sedih melihatku cengeng. Kalau menikah memang kebahagiannya dia, harusnya aku juga senang kan untuknya? 20 tahun lebih dia hidup merana, dan sekarang dia akan mendapatkan kebahagiaanya. Aku seharusnya turut berbahagia dan aku tidak boleh menahannya di sini. Dia berhak mendapatkan kebahagiaan itu.

Kakak
Day 16

#30DWC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar