Kakakku seorang perempuan. Usianya terpaut 12 tahun
denganku. Bagiku dia adalah mutiara dalam hidup, aku menyayanginya lebih dari
aku menyayangi ibuku.
Bagaimana bisa?
Dia adalah pahlawanku. Yang membuat aku bisa
merasakan nikmatnya pendidikan sampai saat ini aku merasakan bangku kuliah. Yang
sangat nyaman. Yang mungkin dulu tidak dia dapatkan.
Orangtuaku bercerai saat aku masih kecil. Berumur tujuh
tahun, dan aku memiliki adik yang umurnya dua tahun di bawahku. Bapak pergi
bersama mama tiri dan ibu juga menikah lagi. Omaku tidak mengizinkan aku dan
saudara – saudaraku ikut siapa pun. Akhirnya kami tinggal di rumah oma. Bersama
tante-om dan anak – anaknya yng umurnya berdekatan denganku.
Saat itu kakakku sudah kuliah sammbil bekerja. Dia berangkat
pagi – pagi sekali dan pulang larut. Pagi – siang mengajar, dan malamnya
kuliah. Aku sebenarnya takut ditinggal kakakku, karena di rumah yang aku
rasakan “sangat jahat”. Kakakku adalah pelindungku, di saat dia ga ada, aku
merasa ga aman. Tapi aku ga boleh cengen karena dia pergi. Aku harus kuat dan
menjaga adikku, seperti yang dia lakukan. Menjaga adik – adiknya.
Di rumah itu, aku merasa ketidakadilan. Aku dan
adikku selalu di salahkan, padahal terkadang bukan kami yang melakukannya. Itu
ulah sepupu – sepupuku. Tapi aku ga tahu apa yang kami lakukan sehingga apa pun
yang kami lakukan pasti selalu saja salah di mata tante. Rumah ga boleh
berantakan, kalo berantakan aku dibilang malas. Lantai harus bersih, kalo ga
bersih aku dibilang jorok. Aku harus selalu ada di luar kamar, kalo di kamar
terus dibilangnya ngamar, padahal aku Cuma mau mencari ketenangan. Kalau aku
cerita ke kakakku pasti dia bilang, “ga apa –apa, rapihin aja. Kalo rapih kan
enak dilihat, kamu juga jadi dibilang rajin.” Atau “yaudah ngerjain prnya di
luar gih. Biar mereka tahu kalau kamu lagi belajar.”
Kakakku seorang pekerja keras. Berangkat pagi – pagi
dan pulangnya larut. Saat ada matahari dia bekerja, saat ada bulan dia kuliah. Uang
yang dia dapatkan untuk membiayain kuliahnya, juga untuk membayar sekolahku dan
ade. Bapak dan ibu jarang sekali memberikan uang. Jadi kata kakakku, kita harus
mandiri, harus bisa sendiri walau pun tanpa orang tua.
Aku hidup terkurung selama aku duduk di sekolah
dasar. Tapi kakakku selalu memberikan aku cahaya. Dia bagaikan lilin di
gelapnya malam. Dia tidak pernah memaki siapa pun yang “meremehkannya” termasuk
oma dan semua tante – tanteku.
Semenjak bapakku selingkuh, dan ibuku menuntut
cerai. Aku dan saudara – saudaraku bagikan arang yang ga ada apa – apanya. Aku merasa
tidak dianggap dan tidak dihargai oleh saudara-saudara bapakku. Kalau ada
kumpul – kumpul kelarga aku dan adikku harus membantu, entah itu mencuci
piring, menyapu, mengepel. Padahal ada saudara sepupu yang lain yang juga
seumuran. Aku sedih sebenernya dengan perlakuan mereka tapi lagi – lagi kata
kakakku, “ini latihan biar kamu terbiasa. Kalau punya rumah sendiri nantikan
kamu jadi bisa merawatnya.”
Kakakku selalu mencurah kan waktu, tenaga, dan
uangnya untuk aku dan adikku. Tapi lebih khusus ke aku. Karena aku seorang
kakak. Aku harus menjaga dan mengajari adikku sebagaimana yang kakakku lakukan. Adikku suka menangis karena diganggu
kakak – kakak sepupunya. Aku tidak bisa melawan mereka untuk adikku, karena
kalau itu aku lakukan, aku pasti akan dimarahi sama oma sama tante. Karenanya aku
hanya bisa memeluknya dan bilang, “sabar ya De, nanti dibalas sama Allah.” Aku juga
harus menjadi kuat untuk adikku.
Kakakku orang yang sangat berhati luas. Dia tidak
pernah memarahi aku atau pun adik kalau dia dimarahi oleh oma atau tante karena
kami nakal. Kalau kami melakukan kesalahan, atau bandel sedikiiiiit aja, pasti
oma atau tante akan bilang bahwa kakakku tidak becus mendidik kami. Kalau dipikir,
wajar saja kalau kakakku tidak becus mendidik anak, dia hanya seseorang yang
beranjak dewasa tapi sudah dilimpahkan tanggung jawab dua adik yang masih
sangat kecil. Padahal itu seharusnya bukan tanggung jawab dia, aku dan ade pun
bukan keinginan dia. Tapi dia hanya diam, ga pernah memarahi kami.
Ketika sudah mulai besar,, aku sadar ternyata uang
sekolahku dan adikku dibayari oleh kakakku. Padahal dia kerja capek, tapi
uangnya tetap untuk kami. Aku jarang melihat dia pergi jalan – jalan dengan
temannya. Dia bilang jalan – jalan Cuma buang – buang uang, lebih baik uangnya
ditabung. Dia masih begitu muda, umur 20 awal. Tapi sudah bisa membiayai
adiknya. Aku bangga dengan kakakku.
Kakakku pernah bilang, dia bersyukur ada aku dan
adikku di sini. Karena kalau tidak ada kami, dia bilang dia bisa menjadi cewek
yang ga bener karena stress dengan kelakuan orang tua kami. Selalu terbesit
dibenaknya dia untuk kabur menjalani hidupnya sendiri, lagi pula dia suda
bekerja. Atau dia pernah berfikir untuk main – main entah kemana dan pulang
larut untuk menghindari oma. Tapi dia bilang, jika pikiran seperti itu muncul
dibenaknya, dia ingat kami. Yang menunggu dia untuk pulang. Sehingga sampai
saat ini dia masih menjadi seorang wanita yang baik – baik.
Saat aku lulus sekolah dasar, oma meninggal. Menyebabkan
aku dan saudara – saudaraku haarus pergi dari rumah tersebut. Aku akhirnya
bahagia, bisa terbebas dari tante, yang mulutnya sangat – sangat tajam. Kakakku bilang padaku “Pi, 24 tahun kakak
selalu berdoa sama Allah supaya bisa keluar dari rumah ini. Dan akhirnya
sekarang kakak bisa keluar juga. Kakak mau kasih tau kamu, jangan pernah
berhenti berdoa sama Allah jika kamu menginginkan sesuatu. Kalau menurut Allah
itu baik untukmu. Pasti Allah akan kabulkan, entah cepat atau lambat.”
Kakakku selalu berpikiran positive. Aku tak mengerti
apa dia memang berpikiran positive atau dia ingin mengajarkan aku bahwa jangan
melihat hidup dari sisi negativenya. Tapi dari pelajaran yang dia berikan. Hal itu
membuat aku menjadi diriku yang sekarang. Yang selalu berusaha untuk berlaku
dan berpikir positive.
Kakakku sekarang sudah menikah di umurnya yang ke 28
tahun. Saat dia akan menikah. Aku selalu birpikir, hidup tanpa dia pasti akan
sangat sepi. Aku ga mau pisah dari dia. Aku menangis. Tidak di depannya. Aku tidak
mau dia sedih melihatku cengeng. Kalau menikah memang kebahagiannya dia,
harusnya aku juga senang kan untuknya? 20 tahun lebih dia hidup merana, dan
sekarang dia akan mendapatkan kebahagiaanya. Aku seharusnya turut berbahagia
dan aku tidak boleh menahannya di sini. Dia berhak mendapatkan kebahagiaan itu.
Kakak
Day 16
#30DWC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar